Jumat, 25 Maret 2016

Sahabat Jalanan

SAHABAT JALANAN 
Kategori: Cerpen
Oleh: Anton Wijaya


Hidup sungguh kejam, hidup tak seperti cerita yang ada di dongeng-dongeng alkisah. Hidup sungguh keras, hidup memang benar adalah sebuah pilihan. Merasakan atau tidak. Bumi ini sudah serasa berat menopang semuanya, semakin hari, semakin bertambah usia, bumi ini semakin keriput, layaknya orang tua yang berada di kolong jembatan itu, tanpa busana dan hanya memakai celana dalam yang ia dapati di pinggir jalan, sungguh teramat sangat menyedihkan. Bumi serasa enggan lagi menerima pijakan dari tubuh manusia. Mungkin, bumi sudah terlalu muak dengan semua tingkah laku anak cucu adam yang terus  berbangga-bangga akan kesombongannya, berfoya-foya akan harta benda yang dimilikinnya, tanpa ambil peduli terhadap nasib orang lain, tanpa ambil tindakan terhadap kemiskinan yang kian hari semakin bertambah dan melonjat tinggi di negeri ini. Inikah yang dinamakan hidup. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. “Ah, kenapa gua jadi ngomongnya ngelantur”, sudahlah lupakan, kata Jacky sembari tersadar dari lamunan singkatnya.
“Mari kita lanjutkan pembicaraan tentang dunia kami yang nyata dan sesungguhnya”, ucap Rendi dengan nada yang penuh isak. “Mari kita renungkan sejenak, kenapa hidup kita seperti ini? Kenapa dan kenapa?”, kata itu terus terulang-ulang oleh Rendi, entah yang keberapa kalinya ia ucapkan. Mereka seenaknya saja mengklaim bahwa kami adalah sampah bagi masyarakat, mereka selalu merasa  dirinyalah yang paling benar sendiri, mereka sesuka hati menghakimi kami, mereka tak menganggap keberadaan kami, mereka selalu asingkan kami, mereka tak pernah perduli sedikit pun tentang keadaan kami, mereka merasa terganggu oleh urakan penampilan kami, mereka benar-benar tak punya hati nurani, mereka selalu memandang kami sebelah mata, mereka menyebut kami sebagai benalu, mereka selalu menutup mata jika kami meminta bantuan terhadap mereka. “Ada apa dengan kami dan mereka? Ada apa dengan semua ini? Hah, Ada apa?”, kembali Rendi mengucap banyak sembari menatap wajah teman-teman yang duduk di sampingnya, penuh dengan tanda tanya besar. “Sudahlah Ren, kita gak boleh bersedih, bukannya kita sudah terbiasa dengan perlakuan mereka yang seperti itu”, kata Ipank sedari tadi sambil menepuk-nepuk punggung Rendi yang penuh dengan besi-besi kecil  tertancap pada jaket kusutnya. Dunia sudah mulai menampakan kegelapannya, lewat senja sore yang melintas di bibir bumi di ufuk barat, berarti malam akan segera datang menggilir keindahan siang yang terang penuh dengan gemulai awan biru yang berhamburan di langit dan berkerumun membentuk gambar-gambar unik bahkan absurd. Sedangkan perjalanan menuju rumah masi terasa sangat jauh. Mungkin, perkiraan sekitar tujuh sampai delapan jam lagi. “Benar-benar perjalan yang melelahkan”, ucap Ipank sambil melihat situasi dengan posisi tangan meraih batas pagar mobil di samping atas, kemudian bola matanya melirik kedepan jauh.
Meski kami tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, dan kami tidak pernah mencicipi rasa dari meja sekolah, sekalipun kami tidak pernah mengenal manisnya pojok sekolahan. Tetapi hidup kami mempunyai prinsip. Prinsip kami adalah kami ingin hidup bebas bagaikan sang elang terbang jauh di atas langit menerjang badai dan melewati luasnya samudera biru. Kami ingin hidup tanpa adanya aturan, karena bagi kami, aturan hidup kami ada di tangan kami sendiri, tak seorang pun berhak melarang kami. Meskipun kami tidak perna merasakan seperti apa hidup dalam kemewahan dan kemapanan, tetapi kami menolak keras hidup yang seperti itu, karena prinsip kami adalah hidup seperti apapun harus dalam kesederhanaan dan selalu mengayomi satu sama lain dalam kebersamaan.
Tak terasa mobil Truck yang ditunggangi mereka sejak di perempatan lampu merah kota Kumbang, kini telah membawa mereka lebih jauh dari tujuan rumah dan tidak tahu entah di daerah mana mereka berada. Mereka serentak kaget setelah tertbangun dari tidur pulasnya di dalam mobil tumpangannya. “Ada di mana kita”, kata jacky yang masih belum sadar dengan keadaanya. “Hentikan-hentikan mobilnya cepat”, teriak Rendi dengan nada keras menghantam telingah. Kemudian Ipank dengan wajah lusut dan variasi rambut yang seperti style para vocalis band-band Punk papan atas, layaknya Romi The Jahat salah satu vocalis dari band Punk di Indonesia yaitu Marjinal pada tahun 1997, “langsung berdiri dan bergegas menuju belakang kepala truck, sambil tangannya terus memukul-mukul badan Truck”, mulutnya terus berteriak, “berhenti pak supir, berhenti pak, kami ingin turun pak”. Mugkin karena laju kecepatan mobil truck itu sangat kencang bagaikan seekor singa yang sedang mengejar mangsannya, maka akibatnya pak sopir tidak sedikit pun mendengar teriakannya Ipank, pohon-pohon di samping jalan tak ada henti-hentinya melambaikan dedaunannya, seakan ikut serta membantu memberhentikan mobil truck itu. Rendi, Jacky, dan Ipank terus mencari cara agar teriakan mereka didengar oleh pak sopir, dari mulai memukul-mukul badan truck sampai menendang-nendangnya, tapi belum membuahkan hasil, semua itu hanya sia-sia. “Santai kawan, lebih baik kita teruskan saja perjalanan ini, kita tunggu sampai mobil truck ini benar-benar berhenti sendiri, lagian sekarang posisi kita berada di tengah-tengah hutan, toh, kalau iya kita turun di sini, mungkin kita akan lebih kesulitan lagi untuk memberhentikan mobil tumpangan lainnya”, kata Jacky sembari mengepulkan asap rokoknya yang kini hampir satu batang dilalapnya sendirian. “Supir goblok, supir tuli”, ucap kasar Rendi dengan raut wajah yang benar-benar menampakan kemarahanya. “Sabar brother, woles-woles, keep calm men”, kata Ipank sambil tersenyum kecil. “Udah, bener kata jacky kita tunggu saja sampai mobil truck ini berhenti, lebih baik kita ngerokok dulu lah”, perkataan ini disambung oleh Ipank setelah menyelesaikan senyumnya. Berbagai jalan terjal dan tikungan tajam, satu-persatu dapat dilewati di bawah kemudi bapak supir yang entah namanya siapa dan ia berasal dari mana?.
Dari tangan ke tangan dan dari mulut ke mulut sebatang rokok itu terus berputar layaknya roda kehidupan, terkadang roda menggelinding di bawah dan terkadang roda berputar pada posisi atas. Suara bising yang tercipta dari mobil truck tersebut, seakan setia mengiri mereka dalam menggilir rokok dengan sedikit bara di ujungnya, dan saat-saat seperti itulah mereka akan melepaskan canda dan tawanya, ruang dan waktu seakan tidak perna teringat oleh mereka, mereka seperti halnya serangkain alat yang tidak bisa dipisahkan, mereka saling membutuhkan satu sama lainnya, jika hal tersebut sampai terjadi pada mereka, mungkin mereka tidak akan merasakan demikian. “Loh, kok mobilnya berhenti”, ucap Rendy sambil memposisikan dirinya untuk berdiri. Terdengar klakson mobil yang cukup keras, “tiiin-tiiiin”, entah pak sopir membunyikan klakson bertujuan untuk apa. “Kawan, jangan-jangan klakson itu memberi aba-aba kepada kita, bahwa mobil truck ini sudah sampai pada ujung tujuannya”, kata Jacky. “Hayoooo, kita turun”, ucap Ipank dengan nada lirih. Suara adzan shubuh pun memenuhi benak semesta, memanggil dan membangunkan orang yang masi terhanyut dalam mimpi indahnya. “Gimana? Kita pergi kemana?”, kata Rendi sembari mulut menguap lebar tanpa ditutup aling-aling tangannya. “Gubraaaaaak” terdengar suara pintu mobil yang baru saja ditutup oleh pak Sopir dengan rokok yang menyala di tangan kirinnya, kemudian pak sopir melangkah menuju sebuah rumah makan yang terletak di samping kiri jalan, dan meninggalkan mereka sebelum mereka melontarkan kata untuk berterima kasih. “Anjing, supir goblok, maen ngloyong saja, padahal kami mau berterima kasih”, lagi-lagi Rendi mengucapkan kata-kata kasarnya sembari menendang pintu mobil truck itu yang sudah ditinggal oleh pemiliknya.
Pada pukul 04:30 WIB, dunia masi dalam sayupnya bersama keheningan gelap yang tersebar di selah-selah ruang kosong kegigilan tubuh yang seakan menusuk tulang sum-sum secara perlahan, burung-burung liar pun sudah asyik bernyanyi dengan lantang saling berkompetisi satu sama lain. Kendaraan roda dua maupun kendaraan umum roda empat sudah menampakan suara bising knalpotnya kepada dunia, mereka mulai memadati jalanan dengan kesibukan pengendaranya masing-masing. “Gua laper bro”, ucap Ipank kepada Rendi. Sedangkan Jacky sedari tadi sibuk mencari-cari kuntung rokok dan berharap masih ada yang layak buat diisep. “Jack-jacky”, suara panggilan itu diucap oleh Rendi dengan nada sedikit serak-serak basah. Tapi Jacky seakan tidak mendengarnya, malah Ia semakin agak menjauh dari posisi Ipank dan Rendi berdiri. “ Si goblok malah menjauh”, kata Rendi. “Jacky sini dulu, gua ada rencana bagus”, sentak Ipank dengan nada irama naik. Akhirnya Jacky mendengar suara panggilan itu. “Woy bro tunggu dulu, gua nemu sesuatu di depan tokoh”, jawab Jacky dengan nada penuh gembira. Di bawalah sesuatu tersebut kepada Ipank dan Rendi, dengan sedikit agak kerepotan Jacky membawanya, tiba-tiba Ipank dan Rendi malah menghampiri Jacky. “Nemu apa lue bro”, kata Ipank. Dan kebetulan keadaan sesuatu itu masih terbungkus rapih di dalam sebuah kantong kresek berwarna hitam dengan tali pengikatnya berwarna merah. “Buka-buka cepet”, kata Rendi sambil tangannya membuka ikatan talinya. Akibat perut mereka belum terisi oleh apapun dari sebelum berangkat sampai sekarang, maka mereka benar-benar merasakan sangat keroncongan. Dengan raut wajah penasaran, mereka penuh dengan harap, agar isi yang ada di dalam kantong kresek hitam tersebut adalah sebuah makanan yang bisa untuk dimakan. Selang beberapa detik kemudian, akhirnya kantong kresek itu dapat dibuka dengan mudah dan tentunya isi yang ada di dalamnya mulai terlihat oleh mata telanjang mereka. “Wiiiiisssssssh, kotak putih bro isinya”, kata Rendi. “Ada berapa kotak Ren”, ucapnya Ipank. “Semogah aja banyak, biar kita bisa makan banyak juga”, ucap Jacky sambil ketawa “hahaha”. “Kalau rejeki tidak akan kemana njing”, kata Rendi dengan penuh gembira. “Anjiiiiing, nasi woy isinya, ada lauknya pula, ayam panggang”, ucap Ipank sambil memperlihatkan senyum kecilnya kepada Rendi dan juga Jacky. Tanpa pikir panjang mereka langsung melahap dengan cepat makanan temuan itu dengan penuh bahagia. Yang mereka tahu hanyalah mengisi perut kosongnya, dan tak ambil peduli siapa pemilik nasi kotak tersebut. Waktu berputar dengan sangat cepat, memaksa malam harus bergilir kembali dengan pagi dan juga siang. “Kenyang-kenyang njing”, kata Rendi sambil mengelus-elus perutnya. “Andai saja  tiap hari kita makan kaya gini terus, mungkin gizi kita akan membaik” kata Jacky dengan nada dan iramanya seperti orang yang memelas. “Kemana lagi nyet, kita istirahat dulu, gimana?”, kata Rendi. “Beneran lue mau istirahat dulu, nggak langsung pulang saja”,ucap Ipank. “Berhubung masi pada ngantuk semua kan lue, udah, kita istirahat saja dulu, masalah pulang mah gampang, yang penting badan kita harus fit terlebih dahulu”, sambung Jacky dengan memperlihatkan sayup matanya. “ Nah, itu ada rumah kosong di samping pos satpam, kita tidur di sana saja, gimana?, kata Rendi kembali menawarkan. “Oke-oke kita cabut kesitu”, ucap Ipank sambil menunjuk rumah kosong itu. Beranjaklah mereka dan akhirnya sampai pada rumah kosong itu, dengan kondisinya yang sudah benar-benar kacau dan berantakan.
Matahari sudah memperlihatkan sinar lembutnya pada dunia, menerobos masuk lewat selah-selah padatnya dinding keheningan pagi, menelusuri semua sudut dan benak alam semesta. Terlihat dengan jelas gemulai pada setiap sinarnya, begitu indah dan juga mempesona, menghangatkan tubuh dan juga bersahaja pada kulit. Rumah kosong itu kini sudah terlihat dengan sedikit jelas, berkat sorotan cahaya matahari itu. “Tidur-tidur njing”, kata Rendi. Sedangkan Jacky masih sibuk membereskan tas yang Ia bawa untuk dijadikan sebagai bantal penghantar tidurnya. “Selesaiii, ambil ancang-ancang, yeah, langsung tiduuuuur”, kata Jacky sambil melentangkan badan dan bola matanya melihat ke atap-atap yang seolah tidak kelihatan seperti atap. “Tidur duluan saja bro, biar gua nanti, gua belum ngantuk”, ucap Ipank sambil menyenderkan badanya ke tembok yang berdebu dan juga penuh dengan coret-coretan pilok berwarna-warni yang membentuk gambar dan sebuah tulisan biasa ataupun grafiti. Walau tidur di tempat  manapun dan dengan kondisi tempat seperti apapun, bagi mereka semua itu adalah sama saja, yang terpenting bagi mereka adalah tidur bersama dalam satu atap.
Waktu sudah menunjukan pukul 10:00 WIB. Tapi mereka masi asik bersetubuh dengan mimpi-mimpi indahnya. Dunia yang beberapa jam sebelumnya terasa hening, sunyi, dan syahdu. kini mulai terpecahkan akibat suara bising lalu lalang kendaraan. Siapapun tak ada  yang berani mengganggu tidur mereka, bahkan seeokor nyamuk dan lalat pun tidak berani menghampiri mereka. Karena mereka adalah raja dari segala raja anak jalanan. Jangan pandang mereka sebelah mata!!!!!!!.
“HIDUP SEKALI, BERARTI, SETELAH ITU, MATI”.
Yogyakarta, 17 Januari 2016


0 komentar:

Posting Komentar

 

The Secret Books Copyright © 2010 | Designed by: compartidisimo