Kategori:
Cerpen
Oleh: Anton Wijaya
Hidup
sungguh kejam, hidup tak seperti cerita yang ada di dongeng-dongeng alkisah.
Hidup sungguh keras, hidup memang benar adalah sebuah pilihan. Merasakan atau
tidak. Bumi ini sudah serasa berat menopang semuanya, semakin hari, semakin
bertambah usia, bumi ini semakin keriput, layaknya orang tua yang berada di
kolong jembatan itu, tanpa busana dan hanya memakai celana dalam yang ia dapati
di pinggir jalan, sungguh teramat sangat menyedihkan. Bumi serasa enggan lagi
menerima pijakan dari tubuh manusia. Mungkin, bumi sudah terlalu muak dengan
semua tingkah laku anak cucu adam yang terus berbangga-bangga akan kesombongannya, berfoya-foya
akan harta benda yang dimilikinnya, tanpa ambil peduli terhadap nasib orang lain,
tanpa ambil tindakan terhadap kemiskinan yang kian hari semakin bertambah dan
melonjat tinggi di negeri ini. Inikah yang dinamakan hidup. Yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin. “Ah, kenapa gua jadi ngomongnya ngelantur”,
sudahlah lupakan, kata Jacky sembari tersadar dari lamunan singkatnya.
“Mari
kita lanjutkan pembicaraan tentang dunia kami yang nyata dan sesungguhnya”, ucap
Rendi dengan nada yang penuh isak. “Mari kita renungkan sejenak, kenapa hidup
kita seperti ini? Kenapa dan kenapa?”, kata itu terus terulang-ulang oleh Rendi,
entah yang keberapa kalinya ia ucapkan. Mereka seenaknya saja mengklaim bahwa
kami adalah sampah bagi masyarakat, mereka selalu merasa dirinyalah yang paling benar sendiri, mereka
sesuka hati menghakimi kami, mereka tak menganggap keberadaan kami, mereka
selalu asingkan kami, mereka tak pernah perduli sedikit pun tentang keadaan
kami, mereka merasa terganggu oleh urakan penampilan kami, mereka benar-benar
tak punya hati nurani, mereka selalu memandang kami sebelah mata, mereka
menyebut kami sebagai benalu, mereka selalu menutup mata jika kami meminta
bantuan terhadap mereka. “Ada apa dengan kami dan mereka? Ada apa dengan semua
ini? Hah, Ada apa?”, kembali Rendi mengucap banyak sembari menatap wajah
teman-teman yang duduk di sampingnya, penuh dengan tanda tanya besar. “Sudahlah
Ren, kita gak boleh bersedih, bukannya kita sudah terbiasa dengan perlakuan
mereka yang seperti itu”, kata Ipank sedari tadi sambil menepuk-nepuk punggung
Rendi yang penuh dengan besi-besi kecil tertancap pada jaket kusutnya. Dunia sudah
mulai menampakan kegelapannya, lewat senja sore yang melintas di bibir bumi di
ufuk barat, berarti malam akan segera datang menggilir keindahan siang yang
terang penuh dengan gemulai awan biru yang berhamburan di langit dan berkerumun
membentuk gambar-gambar unik bahkan absurd. Sedangkan perjalanan menuju rumah
masi terasa sangat jauh. Mungkin, perkiraan sekitar tujuh sampai delapan jam
lagi. “Benar-benar perjalan yang melelahkan”, ucap Ipank sambil melihat situasi
dengan posisi tangan meraih batas pagar mobil di samping atas, kemudian bola matanya
melirik kedepan jauh.
Meski
kami tak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, dan kami tidak pernah
mencicipi rasa dari meja sekolah, sekalipun kami tidak pernah mengenal manisnya
pojok sekolahan. Tetapi hidup kami mempunyai prinsip. Prinsip kami adalah kami
ingin hidup bebas bagaikan sang elang terbang jauh di atas langit menerjang
badai dan melewati luasnya samudera biru. Kami ingin hidup tanpa adanya aturan,
karena bagi kami, aturan hidup kami ada di tangan kami sendiri, tak seorang pun
berhak melarang kami. Meskipun kami tidak perna merasakan seperti apa hidup
dalam kemewahan dan kemapanan, tetapi kami menolak keras hidup yang seperti
itu, karena prinsip kami adalah hidup seperti apapun harus dalam kesederhanaan
dan selalu mengayomi satu sama lain dalam kebersamaan.
Tak
terasa mobil Truck yang ditunggangi mereka sejak di perempatan lampu merah kota
Kumbang, kini telah membawa mereka lebih jauh dari tujuan rumah dan tidak tahu
entah di daerah mana mereka berada. Mereka serentak kaget setelah tertbangun
dari tidur pulasnya di dalam mobil tumpangannya. “Ada di mana kita”, kata jacky
yang masih belum sadar dengan keadaanya. “Hentikan-hentikan mobilnya cepat”,
teriak Rendi dengan nada keras menghantam telingah. Kemudian Ipank dengan wajah
lusut dan variasi rambut yang seperti style para vocalis band-band Punk papan
atas, layaknya Romi The Jahat salah satu vocalis dari band Punk di Indonesia yaitu
Marjinal pada tahun 1997, “langsung berdiri dan bergegas menuju belakang kepala
truck, sambil tangannya terus memukul-mukul badan Truck”, mulutnya terus
berteriak, “berhenti pak supir, berhenti pak, kami ingin turun pak”. Mugkin karena
laju kecepatan mobil truck itu sangat kencang bagaikan seekor singa yang sedang
mengejar mangsannya, maka akibatnya pak sopir tidak sedikit pun mendengar
teriakannya Ipank, pohon-pohon di samping jalan tak ada henti-hentinya
melambaikan dedaunannya, seakan ikut serta membantu memberhentikan mobil truck
itu. Rendi, Jacky, dan Ipank terus mencari cara agar teriakan mereka didengar
oleh pak sopir, dari mulai memukul-mukul badan truck sampai
menendang-nendangnya, tapi belum membuahkan hasil, semua itu hanya sia-sia.
“Santai kawan, lebih baik kita teruskan saja perjalanan ini, kita tunggu sampai
mobil truck ini benar-benar berhenti sendiri, lagian sekarang posisi kita
berada di tengah-tengah hutan, toh, kalau iya kita turun di sini, mungkin kita
akan lebih kesulitan lagi untuk memberhentikan mobil tumpangan lainnya”, kata
Jacky sembari mengepulkan asap rokoknya yang kini hampir satu batang dilalapnya
sendirian. “Supir goblok, supir tuli”, ucap kasar Rendi dengan raut wajah yang
benar-benar menampakan kemarahanya. “Sabar brother, woles-woles, keep calm
men”, kata Ipank sambil tersenyum kecil. “Udah, bener kata jacky kita tunggu
saja sampai mobil truck ini berhenti, lebih baik kita ngerokok dulu lah”,
perkataan ini disambung oleh Ipank setelah menyelesaikan senyumnya. Berbagai
jalan terjal dan tikungan tajam, satu-persatu dapat dilewati di bawah kemudi
bapak supir yang entah namanya siapa dan ia berasal dari mana?.
Dari
tangan ke tangan dan dari mulut ke mulut sebatang rokok itu terus berputar
layaknya roda kehidupan, terkadang roda menggelinding di bawah dan terkadang
roda berputar pada posisi atas. Suara bising yang tercipta dari mobil truck
tersebut, seakan setia mengiri mereka dalam menggilir rokok dengan sedikit bara
di ujungnya, dan saat-saat seperti itulah mereka akan melepaskan canda dan
tawanya, ruang dan waktu seakan tidak perna teringat oleh mereka, mereka
seperti halnya serangkain alat yang tidak bisa dipisahkan, mereka saling
membutuhkan satu sama lainnya, jika hal tersebut sampai terjadi pada mereka,
mungkin mereka tidak akan merasakan demikian. “Loh, kok mobilnya berhenti”,
ucap Rendy sambil memposisikan dirinya untuk berdiri. Terdengar klakson mobil
yang cukup keras, “tiiin-tiiiin”, entah pak sopir membunyikan klakson bertujuan
untuk apa. “Kawan, jangan-jangan klakson itu memberi aba-aba kepada kita, bahwa
mobil truck ini sudah sampai pada ujung tujuannya”, kata Jacky. “Hayoooo, kita
turun”, ucap Ipank dengan nada lirih. Suara adzan shubuh pun memenuhi benak
semesta, memanggil dan membangunkan orang yang masi terhanyut dalam mimpi
indahnya. “Gimana? Kita pergi kemana?”, kata Rendi sembari mulut menguap lebar
tanpa ditutup aling-aling tangannya. “Gubraaaaaak” terdengar suara pintu mobil
yang baru saja ditutup oleh pak Sopir dengan rokok yang menyala di tangan
kirinnya, kemudian pak sopir melangkah menuju sebuah rumah makan yang terletak
di samping kiri jalan, dan meninggalkan mereka sebelum mereka melontarkan kata
untuk berterima kasih. “Anjing, supir goblok, maen ngloyong saja, padahal kami
mau berterima kasih”, lagi-lagi Rendi mengucapkan kata-kata kasarnya sembari
menendang pintu mobil truck itu yang sudah ditinggal oleh pemiliknya.
Pada
pukul 04:30 WIB, dunia masi dalam sayupnya bersama keheningan gelap yang
tersebar di selah-selah ruang kosong kegigilan tubuh yang seakan menusuk tulang
sum-sum secara perlahan, burung-burung liar pun sudah asyik bernyanyi dengan
lantang saling berkompetisi satu sama lain. Kendaraan roda dua maupun kendaraan
umum roda empat sudah menampakan suara bising knalpotnya kepada dunia, mereka
mulai memadati jalanan dengan kesibukan pengendaranya masing-masing. “Gua laper
bro”, ucap Ipank kepada Rendi. Sedangkan Jacky sedari tadi sibuk mencari-cari
kuntung rokok dan berharap masih ada yang layak buat diisep. “Jack-jacky”,
suara panggilan itu diucap oleh Rendi dengan nada sedikit serak-serak basah.
Tapi Jacky seakan tidak mendengarnya, malah Ia semakin agak menjauh dari posisi
Ipank dan Rendi berdiri. “ Si goblok malah menjauh”, kata Rendi. “Jacky sini
dulu, gua ada rencana bagus”, sentak Ipank dengan nada irama naik. Akhirnya
Jacky mendengar suara panggilan itu. “Woy bro tunggu dulu, gua nemu sesuatu di
depan tokoh”, jawab Jacky dengan nada penuh gembira. Di bawalah sesuatu
tersebut kepada Ipank dan Rendi, dengan sedikit agak kerepotan Jacky
membawanya, tiba-tiba Ipank dan Rendi malah menghampiri Jacky. “Nemu apa lue
bro”, kata Ipank. Dan kebetulan keadaan sesuatu itu masih terbungkus rapih di
dalam sebuah kantong kresek berwarna hitam dengan tali pengikatnya berwarna
merah. “Buka-buka cepet”, kata Rendi sambil tangannya membuka ikatan talinya.
Akibat
perut mereka belum terisi oleh apapun dari sebelum berangkat sampai sekarang,
maka mereka benar-benar merasakan sangat keroncongan. Dengan raut wajah
penasaran, mereka penuh dengan harap, agar isi yang ada di dalam kantong kresek
hitam tersebut adalah sebuah makanan yang bisa untuk dimakan. Selang beberapa
detik kemudian, akhirnya kantong kresek itu dapat dibuka dengan mudah dan
tentunya isi yang ada di dalamnya mulai terlihat oleh mata telanjang mereka.
“Wiiiiisssssssh, kotak putih bro isinya”, kata Rendi. “Ada berapa kotak Ren”,
ucapnya Ipank. “Semogah aja banyak, biar kita bisa makan banyak juga”, ucap
Jacky sambil ketawa “hahaha”. “Kalau rejeki tidak akan kemana njing”, kata
Rendi dengan penuh gembira. “Anjiiiiing, nasi woy isinya, ada lauknya pula,
ayam panggang”, ucap Ipank sambil memperlihatkan senyum kecilnya kepada Rendi
dan juga Jacky. Tanpa pikir panjang mereka langsung melahap dengan cepat
makanan temuan itu dengan penuh bahagia. Yang mereka tahu hanyalah mengisi
perut kosongnya, dan tak ambil peduli siapa pemilik nasi kotak tersebut. Waktu
berputar dengan sangat cepat, memaksa malam harus bergilir kembali dengan pagi
dan juga siang. “Kenyang-kenyang njing”, kata Rendi sambil mengelus-elus
perutnya. “Andai saja tiap hari kita makan
kaya gini terus, mungkin gizi kita akan membaik” kata Jacky dengan nada dan
iramanya seperti orang yang memelas. “Kemana lagi nyet, kita istirahat dulu,
gimana?”, kata Rendi. “Beneran lue mau istirahat dulu, nggak langsung pulang
saja”,ucap Ipank. “Berhubung masi pada ngantuk semua kan lue, udah, kita
istirahat saja dulu, masalah pulang mah gampang, yang penting badan kita harus fit
terlebih dahulu”, sambung Jacky dengan memperlihatkan sayup matanya. “ Nah, itu
ada rumah kosong di samping pos satpam, kita tidur di sana saja, gimana?, kata
Rendi kembali menawarkan. “Oke-oke kita cabut kesitu”, ucap Ipank sambil
menunjuk rumah kosong itu. Beranjaklah mereka dan akhirnya sampai pada rumah
kosong itu, dengan kondisinya yang sudah benar-benar kacau dan berantakan.
Matahari
sudah memperlihatkan sinar lembutnya pada dunia, menerobos masuk lewat
selah-selah padatnya dinding keheningan pagi, menelusuri semua sudut dan benak
alam semesta. Terlihat dengan jelas gemulai pada setiap sinarnya, begitu indah
dan juga mempesona, menghangatkan tubuh dan juga bersahaja pada kulit. Rumah
kosong itu kini sudah terlihat dengan sedikit jelas, berkat sorotan cahaya
matahari itu. “Tidur-tidur njing”, kata Rendi. Sedangkan Jacky masih sibuk
membereskan tas yang Ia bawa untuk dijadikan sebagai bantal penghantar
tidurnya. “Selesaiii, ambil ancang-ancang, yeah, langsung tiduuuuur”, kata Jacky
sambil melentangkan badan dan bola matanya melihat ke atap-atap yang seolah
tidak kelihatan seperti atap. “Tidur duluan saja bro, biar gua nanti, gua belum
ngantuk”, ucap Ipank sambil menyenderkan badanya ke tembok yang berdebu dan
juga penuh dengan coret-coretan pilok berwarna-warni yang membentuk gambar dan
sebuah tulisan biasa ataupun grafiti. Walau tidur di tempat manapun dan dengan kondisi tempat seperti
apapun, bagi mereka semua itu adalah sama saja, yang terpenting bagi mereka
adalah tidur bersama dalam satu atap.
Waktu
sudah menunjukan pukul 10:00 WIB. Tapi mereka masi asik bersetubuh dengan
mimpi-mimpi indahnya. Dunia yang beberapa jam sebelumnya terasa hening, sunyi,
dan syahdu. kini mulai terpecahkan akibat suara bising lalu lalang kendaraan.
Siapapun tak ada yang berani mengganggu
tidur mereka, bahkan seeokor nyamuk dan lalat pun tidak berani menghampiri
mereka. Karena mereka adalah raja dari segala raja anak jalanan. Jangan pandang
mereka sebelah mata!!!!!!!.
“HIDUP
SEKALI, BERARTI, SETELAH ITU, MATI”.
Yogyakarta,
17 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar