Teori
Emanasi
(Telaah Teori Emanasi Plotinus dan
Filosof Muslim)
Makalah
ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Matakuliah
Filsafat Islam Tematik 1: Ontologi/Metafisika
Dosen
Pengampuh: Drs. H. Muzairi, M.A
Oleh:
ANTON WIJAYA
NIM: 15510077
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN
ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB
I
A.
Pendahuluan
Akal
merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa bagi manusia.
Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu
termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak
lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.[1]
Dengan
demikian akal menjadi bagian yang sangat penting dalam diri manusia, bahkan
tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang. Dalam filsafat, penggunaan
akal menjadi ciri khas yang menunjukkan aktivitas pemikiran yang dilakukan. Di
dunia ini, banyak sekali filosof-filosof yang menuangkan pemikirannya kedalam
bentuk tulisan maupun ucapan dari hasil pengalamannya maupun aktivitas berpikir
mendalam yang dilakukannya.
Tidak
hanya barat, Islam pun memiliki para filosof handal yang memiliki kualitas
berpikir yang luar biasa. Namun, seorang muslim yang memperdalam filsafat tidak
boleh terlepas dari aturan syari`at yaitu ketentuan Al-Qur`an dan Al-Hadits.
Hal ini dimaksudkan agar apa yang nanti akan dituangkan dari hasil filsafatnya
tersebut tidak menyesatkan umat Islam lainnya, karena tentunya para filosof
tersebut mendapat perhatian yang lebih bahkan hasil pemikiran mereka dipelajari
oleh umat selanjutnya.
Salah
satu kajian filsafat yang terkenal adalah tentang teori emanasi, yang
mengatakan bahwa penciptaan alam ini merupakan pancaran dari Yang Satu. Banyak
filosof yang memberikan pandangannya mengenai filsafat ini, mengingat jika
diperhatikan sekilas teori emanasi sangatlah membingungkan bahkan bagi yang
mendalami tetapi belum begitu dalam tetap akan terasa bingung, karena memang
begitulah filsafat. Oleh karenanya, sangat perlu sekiranya dalam perkuliahan
Filsafat Islam Tematik 1: Ontologi/Metafisika juga dibahas secara mendalam
mengenai teori emanasi ini. Agar cakrawala berpikir dan pengetahuan kita
menjadi luas. Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, dapat diambil rumusan masalahnya sebagai berikut. Apa
yang dimaksud dengan teori emanasi? Bagaimana teori emanasi menurut Plotinus? Bagaimana
teori emanasi menurut para filosof muslim?.
BAB II
B.
Pengertian Teori Emanasi
Dalam
penciptaan alam semesta banyak para ahli berbeda pandangan, perbedaan pandangan
itu terletak pada dua persoalan yakni apakah alam ini ada karena memang
sudah ada? ataukah ada karena ada yang menciptakan?. Apabila ada
yang menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu?, tentu ini
menjadi hal yang menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini
menjadi satu soal yang harus dikaji kebenarannya. Banyak para filosof barat yang memberikan pandangannya
mengenai penciptaan alam semesta ini, hingga muncul-lah beberapa teori salah
satunya yang paling menarik dan terkenal dalam dunia filsafat adalah teori
emanasi. Teori ini, menarik banyak perhatian para filosof muslim, karena konsep
sederhananya tidaklah menyimpang dari ajaran Islam meskipun argumennya sangat
sulit dipahami bagi manusia awam.
Kata
emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses
munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama
dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses
terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung,
bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap
wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.[2] Jadi,
dalam teori ini, ditegaskan bahwa Allah sebagai Tuhan memberikan pancaran,
sehingga terwujudlah alam ini sebagai hasil dari pancaran tersebut. Dan itu
terjadi dengan beberapa proses.
C.
Teori Emanasi Menurut Plotinus
Plotinus
dilahirkan pada tahun 204 M di Mesir, di daerah Licopolis. Pada tahun 232 M ia
pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, kepada seorang guru bernama
Animonius Saccas selama 11 tahun. Pada tahun 243 M ia mengikuti Raja Gordianus
III berperang melawan Persia. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk
mempelajari kebudayaan Parsi dan India. Akan tetapi, sebelum sempat
mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244 M. Plotinus dengan susah
payah dapat melarikan ke Antioch. Kemudian, pada tahun 270 M Plotinus meninggal
di Minturnae, Campania, Italia.[3]
Plotinus
merupakan salah satu filosof barat yang filsafat memiliki pengaruh kepada para
filosof muslim. Diantara filsafatnya, satu diantaranya adalah tentang
penciptaan. Plotinus berpendapat bahwa Yang Esa adalah Yang Paling Awal, sebab
pertama. Dari sinilah mulai teori penciptaan yang terkenal yaitu teori emanasi,
suatu teori penciptaan yang belum pernah diajukan oleh para filosof lain.
Tujuan utama teori ini adalah untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini
tidak menimbulkan pengertian bahwa didalam Yang Esa ada pengertian yang banyak.
Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak
makhluk.
Menurut
Plotinus, alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu
berlangsung tidak didalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi
dari matahari. Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan.
Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian Hatta sebagai berikut
“Yang Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung didalamnya satupun dari
barang yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu
sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Didalam
Yang Esa itu yang banyak itu belum ada, sebab didalam-Nya yang banyak itu tidak
ada, tetapi yang banyak itu datang dari Dia. Karena Yang Esa itu sempurna,
tidak memerlukan apa-apa, tidak memiliki apa-apa, maka beremanasilah dari Dia
yang banyak itu. Dalam filsafat klasik Yang Asal itu dikatakan sebagai Yang
Bekerja atau sebagai Penggerak Pertama. Disitu selalu dikemukakan dua hal yang
bertentangan, seperti yang bekerja dan yang dikerjakan, idea dan benda,
pencipta dan ciptaan.
Penggerak
Pertama itu berada didalam alam nyata, sifatnya transedens. Pada
Plotinus terdapat pandangan yang lain, paham ini berasal dari filsafat Timur.
Padanya tidak ada yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang
Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan
Tuhan berada didalam alam, melainkan alam berada didalam Tuhan. Hubungannya
sama dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir itu
dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang Asal, tetapi
tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama dengan Yang Asal. Kesempurnaan
bayangan itu bertingkat menurut jaraknya dari yang Asal. Sama dengan cahaya, semakin
jauh dari sumber cahaya, semakin kurang terangnya, akhirnya ujung cahaya akan
lenyap dalam kegelapan.[4]
Perlu
dicatat bahwa emanasi itu terjadi tidak didalam ruang dan waktu. Ruang dan
waktu terletak pada tingkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan
waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjaadikan alam, Soul
mula-mula menghamparkan sebagian dari kekelannya, lalu membungkusnya dengan
waktu. Selanjutnya energinya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta itu.
Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga
menghasilkan waktu lalu, sekarang dan yang akan datang.
D.
Teori Emanasi Menurut Para Filosof Muslim
Sebagaimana
yang diketahui diawal pembelajaran Filsafat Islam, bahwa pemikiran para filosof
Islam sangat dipengaruhi oleh pemikiran para filosof barat (para filosof
Yunani). Diantara para filosof Islam yang terkenal dalam pemikirannya mengenai
teori emanasi, yaitu:
1.
Al-Farabi
Al-Farabi
mempunyai nama lain yaitu Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi.
Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat beliau
dilahirkan yakni di desa Wasij di kota Farab pada tahun 257 H (870 M).
kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya adalah orang Iran
yang menikahi wanita Turki. Banyak karya yang telah beliau hasilkan dari proses
mencari dan menggali pengetahuannya melalui filsafat.[5]
Mengenai
penciptaan alam, Al-Farabi setuju dengan teori emanasi yang menetapkan bahwa
alam ini baru, yang merupakan hasil pancaran. Al-Farabi menyebut teori emanasi
sebagai Nadhariyatul Faidl.[6] Sebenarnya,
Al-Farabi menemui kesulitan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang
bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Maha Sempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak
pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara
dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada
(Creito ex Nihilo). Untuk meng-Islamkan doktrin ini, Al-Farabi mencari
bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian,
Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan
sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan maksud, Allah
menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang qadim,
sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Oleh karenanya,
menurut Filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Al-Qur`an
ditujukkan kepada syai’ (sesuatu) bukan kepada la syai’ (tidak
ada sesuatu).[7]
Emanasi
dalam pemikiran Al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya,
dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah wujud pertama
dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunya substansi. Itu
disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir
tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga. Proses ini
terus berlangsung hingga pada akal X.[8] Emanasi
melahirkan alam qadim dari segi zaman (taqaddum zamany) bukan dari segi
zat (taqaddum zaty). Oleh karena alam dijadikan Allah secara emanasi
sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti
ia adalah baru. Berikut adalah tabel emanasi, agar lebih dapat memahami uraian
tentang teori emanasi Al-Farabi.[9]
(Subjek)
Akal
Yang
Ke
|
Sifat
|
Berfikir Tentang:
a.
Allah sebagai Wajib al-Wujud
menghasilkan
|
b.
Dirinya sendiri sebagai mumkin
al-Wujud, menghasilkan
|
Keterangan:
|
I
|
Mumkin Wujud
|
Akal II
|
Langit Pertama
|
Masing-masing akal mengurusi satu
planet
|
II
|
Sda
|
Akal III
|
Bintang-Bintang
|
|
III
|
Sda
|
Akal IV
|
Saturnus
|
|
IV
|
Sda
|
Akal V
|
Yupiter
|
|
V
|
Sda
|
Akal VI
|
Mars
|
|
VI
|
Sda
|
Akal VII
|
Matahari
|
|
VII
|
Sda
|
Akal VIII
|
Venus
|
|
VIII
|
Sda
|
Akal IX
|
Merkurius
|
|
IX
|
Sda
|
Akal X
|
Bulan
|
|
X
|
Sda
|
Bumi,
roh, materi pertama yang menjadi keempat unsur: udara, api, air dan tanah.
|
Akal ke X tidak lagi memancarkan
akal-akal berikutnya, karena kekuatannya sudah lemah.
|
2.
Ibnu Sina
Nama
lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa, beliau
lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di
daerah Bukhara pada tahun 340H./980M. Beliau lahir saat kondisi kekuasaan
Abbasiyah sedang kacau dan mengalami kemunduran. Beliau meninggal pada tahun
428H./1037M. pada usia 57 tahun.[10]
Dalam
filsafatnya mengenai penciptaan alam, Ibnu Sina tidaklah jauh berbeda dengan
Al-Farabi, sehingga kesulitan yang dirasakan dalam menjelaskan maksud emanasi
keduanya sama saja. Sebagaimana yang diketahui bahwa emanasi merupakan ramuan
dari seorang filosof barat yakni Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini
terjadi karena pancaran dari Yang Esa.
Namun,
kemudian pandangan Plotinus di Islamkan oleh Ibnu Sina. Sehingga dari Yang Esa
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang
aktif. Dia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran. Adapun
proses terjadinya pancaran tersebut adalah ketika Allah wujud (bukan dari
tiada) sebagai Akal langsung memikirkan (berta`aqqul) terhadap zat-Nya
yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama. Begitu
seterusnya hingga proses ke-10.
Berlainan
dengan Al-Farabi, bagi Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat
Wajib Wujud-Nya sebagai pancaran dari Allah dan sifat Mumkin Wujud-Nya jika
ditinjau dari hakikat diri-Nya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek
pemikiran akal-akal menjadi tiga yaitu Allah (Wajib Al-Wujud Li Dzatihi),
dirinya akal-akal (Wajib Al-Wujud Li Ghairihi) sebagai pancaran dari
Allah, dan dirinya akal-akal (Mumkin Al-Wujud) ditinjau dari hakikat
dirinya.
Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina dibawah ini.[11]
Subjek Akal Yang Ke
|
Sifat
|
Allah sebagai Wajib al-Wujud,
menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai wujud
lighairihi, menghasilkan
|
Dirinya sendiri mumkin wujud lizatihi
|
Keterangan:
|
I
|
Wajib al-Wujud
|
Akal II
|
Jiwa 1 yang menggerakan
|
Langit Pertama
|
Masing-masing akal mengurusi satu
planet
|
II
|
Mumkin Wujud
|
Akal III
|
Jiwa II yang menggerakan
|
Bintang-Bintang
|
|
III
|
Sda
|
Akal IV
|
Jiwa III yang menggerakan
|
Saturnus
|
|
IV
|
Sda
|
Akal V
|
Jiwa IV yang menggerakan
|
Yupiter
|
|
V
|
Sda
|
Akal VI
|
Jiwa V yang menggerakan
|
Mars
|
|
VI
|
Sda
|
Akal VII
|
Jiwa VI yang menggerakan
|
Matahari
|
|
VII
|
Sda
|
Akal VIII
|
Jiwa VII yang menggerakan
|
Venus
|
|
VIII
|
Sda
|
Akal IX
|
Jiwa IX yang menggerakan
|
Merkuri
|
|
IX
|
Sda
|
Akal X
|
Jiwa I yang menggerakan
|
Bulan
|
3.
Ibnu Maskawaih
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya`qub bin Maskawaih. Sebutan
namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu
adalah nama kakeknya yang semula seorang Majusi (Persia) kemudian masuk Islam.
Ibnu Maskawaih lahir di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun lahir, para
penulis menyebutkannya berbeda-beda, salah satunya M.M Syarif mengatakan tahun
320H./932M. Sedangkan wafatnya semua sepakat pada tanggal 9 Shafar 421H./16
Februari 1030M.[12]
Sebagaimana
Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih juga menganut paham emanasi, yakni
Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda
(bertentangan) dengan emanasi Al-Farabi. Menurut Ibnu Maskawaih, entitas
pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘Aql dan Fa`al (Akal
Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatupum. Ia qadim, Sempurna dan
tak berubah.
Dari
Akal Aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah
planet. Pelimpahan atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat
memelihara tatanan didalam alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka
akan berhenti kemaujudan dalam alam ini. Berikut perbedaan emanasi antara
Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih, yaitu:[13]
a.
Bagi Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada
menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran
dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.
Bagi Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu,
bagai Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif
adalah Akal yang ke-10.
4.
Ikhwan Ash-Shafa’
Ikhwan
Ash-Shafa’ adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte
Syiah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H
/ 10 M di Basrah. Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang
mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya
dikalangan pengikutnya.[14]
Filsafat
emanasi Ikhwan Ash-Shafa’ terpengaruhi oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut
Ikhwan Ash-Shafa’, Allah adalah Pencipta dan Mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri
Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian, Allah
menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi
pertama. Dengan demikian, kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, maka
Akal Pertama ini juga demikian halnya. Pada Akal Pertama lengkap segala
potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya
secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa qadim dan lengkap tetapi
tidak sempurna.
Demikian
juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan
jiwa, maka materi pertama adalah qadim, tidak lengkap dan tidak sempurna. Jadi,
Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian
tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Ringkasnya rangkaian proses
emanasi tersebut sebagai berikut.[15]
a.
Akal Aktif atau Akal Pertama (Al-‘Aql Al-Fa’al)
b.
Jiwa Universal (An-Nafs Al-Kulliyyat)
c.
Materi Pertama (Al-Hayula Al-Ula)
d.
Alam Aktif (At-Thabi’at Al-Fa’ilat)
e.
Materi Absolut dan Materi kedua (Al-Jism Al-Muthlaq)
f.
Alam Planet-Planet (‘Alam Al-Aflak)
g. Unsur-Unsur
alam terendah (‘Anashir Al-‘Alam As-Sufla) yaitu air, tanah, udara dan
api.
h. Materi
gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sementara itu
manusia termasuk kedalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan
berpikir.
BAB
III
E. Kesimpulan
Kata
emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses
munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama
dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses
terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung,
bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap
wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Menurut
Plotinus, alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu
berlangsung tidak didalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi
dari matahari. Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan.
Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian Hatta sebagai berikut
“Yang Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung didalamnya satupun dari
barang yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu
sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Para
filosof muslim yang sependapat dengan teori emanasi, yaitu:
a. Al-Farabi
b. Ibnu Sina
c. Ibnu
Maskawaih
d. Ikhwan Ash-Shafa’
Pandangan emanasi Plotinus, di Islamkan oleh keempat
orang diatas menjadi bahwa Allah lah yang menciptakan. Allah lah yang
memberikan pancarannya kemudia terwujudlah sesuatu.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1991.
Al-Hafizh,
Mushlihin. 2012. Pengertian Emanasi. Diunduh pada 20 Oktober 2013 pkl.
21.00 WIB dari website http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Cetakan ke-5, 1995.
Tafsir,
Ahmad. Filsfat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai James), Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cetakan ke-2, 1992.
Zar,
Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Cetakan ke-5, 2012.
[1]
Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya),
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cetakan ke-5, 2012), hlm. 1
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai James), ( Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, cetakan ke-2, 1992), hlm. 58
[7] Sirajuddin, Filsafat
Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-5, 2012), hlm. 74.
[8] Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, cetakan ke-9, 1995),
hlm. 27.
[9] Ibid..,
hlm. 77.
[11] Sirajuddin, Filsafat
Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-5, 2012), hlm. 99-101.
[12] A.
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 1997), hlm. 166.
[13] Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Cetakan ke-5, 2012), hlm. 131.
[14] Ibid..,
hlm. 138.
[15] Ibid.., hlm. 148-149.
0 komentar:
Posting Komentar