Kategori:
Cerpen
Oleh:
Anton Wijaya
Berjejer
buku-buku penuh dengan debu di atas rak dan lemari buku. Posisi mereka tegak,
menyamping, berhimpit-himpitan mesra dan sangatlah rapih. Alangkah hebatnya
mereka. Mereka semua mempunyai karakteristik keilmuwannya masing-masing,
berbagai corak perbedaannya mereka bisa terlihat jelas dengan menggunakan kasap
mata telanjang, seperti halnya dari segi judul buku, variasi cover, warna,
model tulisan, jumlah halaman, tebal buku, pengarang yang berbeda, namun ada
juga, dengan judul buku yang berbeda akan tetapi tetap dalam satu pengarang.
Itulah semua ragam dari buku, begitu berbeda tetapi sangatlah menarik untuk dapat
memilikinya. Seperti halnya pelangi, dengan menampakkan warna-warninya yang
berbeda, maka ia akan menghasilkan keindahan yang tiadatara kepada dunia.
Riri
adalah anak semata wayang dari pasangan ayah dan ibu yang sangat berbahagia,
hidup mereka serba berkecukupan. Riri adalah anak yang paling berbeda jika
dibandingkan dengan teman-teman yang sebayanya, karena Riri adalah anak yang
paling pendiam, penurut, suka menabung dan rajin membeli buku, namun, ia tidak
suka membacanya. Meskipun Orang tua Riri adalah orang kaya, tetapi Riri tidak
pernah meminta uang hingga berlebihan kepada Orang tuanya, walaupun uang
tersebut untuk membeli buku ataupun membeli suatu yang lainnya.
Pada
tanggal 23 Agustus 2015, Orang tua Riri kedapatan harus bertugas keluar kota,
Ibu dan Ayahnya Riri, kebetulan bekerja pada sebuah perusahaan yang sama, jadi tanpa
pengecualian mereka akan meninggalkan Riri sendirian di rumah. Pada pukul 22:30
Wib, Riri hanya seorang diri di dalam kamar tidurnya, meski Riri mempunyai
rumah yang cukup mewah dan juga besar, tetapi orang tua Riri tidak mau
memperkerjakan orang lain untuk dijadikan sebagai pembantu rumah tangganya,
karena orang tua Riri pikir, selagi kita mampu maka kita tidak boleh
memanjajakan tubuh kita dengan menyuruh-nyuruh orang lain.
Serentak tubuh Riri gemetar, tiba-tiba
terdengar suara aneh yang tidak diketahui dari mana asal sumbernya;
''
Tuanku Riri, aku di sini''.
''Hah,
seperti ada suara'', ucap Riri dengan wajah seribu tanda tanya besar?.
Sedari
tadi mata telanjangnya Rini tak ada henti-hentinya menggerilya, terus-menerus
menelusuri dari mana sumber suara itu berasal?, Sedangkan keheningan malam,
memaksa Riri untuk menyalahkan lampu senter sebagai alat penerang, yang
kebetulan posisi senter tersebut terletak di bawah meja belajarnya.
''Bacalah,
bacalah aku wahai tuanku, jangan sombong, ilmumu belum seberapa'', suara itu
kembali terdengar oleh Riri yang ke dua kalinya.
''Siapa
itu?, siapa yah, please dong jangan bikin aku takut, kamu siapa?'', kembali
Riri mengucap dengan nada yang tergesa-gesa akibat ketakutan.
''Benar-benar
sial malam ini, udah mah aku sendirian di rumah, di luar hujan pula, listrik
pake mati segala'', dalam hatinya Riri terus menggerutu.
Suara
itu tiba-tiba muncul yang ke tiga kalinya,
''
Wahai tuanku ambilah aku, dan manjakanlah aku dengan belaian jari-jari
lentikmu, aku rela diserap tuntas keilmuanku, aku rela pula ditelanjangi setiap
hari oleh mu tuan''.
Seluruh
anggota tubuh Riri semakin menjadi, tubuhnya gemetar, dan mulutnya seakan tak
bisa mengucap satu kata pun. Dan dalam hati Riri berucap, '' ada apa dengan
semua ini, kok aku gemetar, mulutku susah mengucap''.
Suara
guntur diluar rumah seolah tak ada ujung hentinya, semakin lama semakin
mengglegar buas, guntur seakan bekerja sama dengan petir untuk menghujat
kesunyiannya malam, dan rintikan air hujan pun yang menjatuhi genting ikut
berpartisipasi dalam menggaduhkan suasana.
''Mengapa
aku selalu ditelantarkan oleh tuan, mengapa tuan memperlakukan aku seperti ini,
tuan hanya menganggap aku sebatas tulisan saja, tuan jahat, tuan tidak pernah
mengajakku untuk berdialog''.
Ke
empat kalinya Riri mendengar dengan jelas suara itu seperti memanggil-manggil
majikannya.
''
Please jangan ganggu aku, aku mohon, aku minta maaf, jika aku punya salah sama
kamu, yang kamu maksud tuan itu, tuan siapa'', ucap Riri dengan nada penuh
isak.
Tapi
pertanyaan yang dilayangkan oleh Riri itu, entah kemana hanyutnya, tak ada
jawaban ataupun tanda-tanda akan direspon.
''Andai
tuan rawat aku dengan penuh kelembutan tangan, tuan kecup aku dengan bibir sexy
tuan, tuan rabah dan setubuhi aku dengan analisis tuan'', Niscaya,'' aku akan
akan melahirkan keilmuan baru tuan''.
''Nasibku
benar-benar malang tuan, aku dibikin oleh orang, kemudian aku dijual belikan,
dan aku dibeli oleh tuan layaknya wanita jalang ataupun lelaki hidung belang,
meski aku tak mempunyai jenis kelamin, tapi aku mempunyai perasaan tuan, aku
ingin tuan mengajakku bercumbu, bercanda riah, aku ingin semua itu tuan'',
''Apa
aku dianggap seperti halnya benda keramat oleh tuan; apa gara-gara bentuk
coverku besar dan tubuhku begitu tebal, sehingga aku selalu dihindari, tuan
jahat, tuan begitu tegah''.
Hujan,
guntur, dan petir, kini telah berpulang ke tempat asalnya, berubah menjadi
kedamaian alam beserta cahaya sinar yang menyongsong dari bibir bumi sebelah
timur, begitu gemulai dan juga menghangatkan tubuh.
Dering
alarm kini mulai menghantam keheningan gigil pagi, Riri pun terbangun dari
tidur lelapnya. ''Ternyata aku hanya bermimpi'', ucap Riri dengan nada
serak-serak basah layaknya seorang artis yang baru selesai manggung musik rock.
'' Aku baru sadar, selama ini, berapa banyak buku yang sudah aku beli, tapi
mengapa aku hanya menyimpannya rapat-rapat di dalam lemari maupun rak, aku
tidak pernah sesekali pun membacanya'', ucap Riri dengan nada penuh sesal.
''
Hari ini aku harus rajin membaca buku, biar aku jadi anak yang pintar dan biar
aku tidak diteror lagi oleh suara-suara aneh itu''.
Mulai
dari situlah, akhirnya Riri berjanji pada diri sendiri agar selalu rajin
membaca buku smile emotikon .
Terima
kasih sudah menengok tulisan ini.
.
Yogyakarta,
18 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar