HUBUNGAN LOGIKA HUKUM DAN KEPASTIAN
HUKUM
Oleh:
ANTON WIJAYA
NIM:
15510077
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN
ISLAM
KONSENTRASI FILSAFAT
AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB
1
A. Pendahuluan
Salah
satu tujuan dari adanya hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi
masyarakat. Kepastian hukum tersebut
akan menimbulkan penggunaan hukum yang jelas, pasti dan konsisten. Logika khususnya logika silogisme juga
memiliki suatu kepastian. Premis-premis akan berimplikasi terhadap kesimpulan
yang dihasilkan. Selain itu, logika juga mengajarkan bagaimana berpikir benar.
Sehingga diharapkan setiap orang dapat melakukan penalaran yang benar sesuai
dengan aturan dan metodologi. Dari
uraian di atas nampaknya terdapat hubungan yang berkaitan antara logika hukum
dan kepastian hukum. Untuk itu penyusun ingin membahas bagaimanakah hubungan
logika hukum dengan kepastian hukum.
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun antara
lain: Apakah ada hubungan logika hukum dengan kepastian hukum? Bagaimanakah
hubungan logika hukum dengan kepastian hukum?
BAB
ll
B. Logika Hukum 1
1.
Definisi Logika
Istilah
logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan
dengan beberapa arti, seperti ‘ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal
budi, ilmu’ (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata
sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita
sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap
perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan
yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus
itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk
akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh
akal sehat. Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya
logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh
hakikat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud
itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu
dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu.
Dalam
bukunya Introduction to Logic, Irving
M. Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metode-metode dan
prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari
penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3). Dengan menekankan pengetahuan
tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi
pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud
mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir
secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui
bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan
mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir–mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah
berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan
penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang
logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai
metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang
yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu
membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua
menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal
pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau keterampilan. Kedua aspek ini
berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih
kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan
keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir.[1]
Namun,
sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan
prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi
seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus
terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika,
khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan
secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal
budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-laun diharapkan mampu berpikir sendiri
secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk
kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.[2]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, logika merupakan (1) pengetahuan tentang kaidah
berpikir, (2) jalan pikiran yang masuk akal. Menurut Munir Fuadi logika
berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari
suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Kelsen
memandang ilmu hukum adalah pengalaman logikal suatu bahan di dalamnya sendiri
adalah logikal . Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukum
adalah bersifat logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal.[3]
Logika
dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang. Di antaranya
ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah
perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.
a.
Logika Alamiah
Dari
nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari
kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional.
Sebagai makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa
sejak lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara
spontan maupun di sengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada
akal sehat saja, manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika
ini hanhya dapat membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang
bersifat rutin dan sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah
yang sulit dan kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya
sudah tidak dapat diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu
manusia dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum,
cara-cara, metode-metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan
demikian baik proses atau prosedur penalaran maupun kesimpulan yang
dihasilkannya betul-betul terjamin kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia
membutuhkan logika ilmiah.
b.
Logika Ilmiah
Uraian
di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah akan dapat
diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu
membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik
tertentu, yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses
penalaran beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati, logika
ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum
penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum
tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat
dihindari.[4]
2.
Sejarah Perkembangan
Ditinjau
dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal dalam dua
jenis, yakni logika klasik dan logika modern.
a.
Logika Klasik
Jenis
logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang filsuf
besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang melakukan
pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu
disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia
sendiri tidak menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan
dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen
yang bertolak dari putusan-putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah
penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang
masih diragukan kebenarannya.
Bagi
Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini tampak
dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan
karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk
mempraktekkan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah
persiapan yang mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III
Masehi, Alexander Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti
seperti yang dikenal sekarang (Bertens, 1979: 135—6). Sampai pertengahan abad
ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak bergeser dari apa yang sudah
ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak mengalami perubahan
sedikit pun.
b.
Logika Modern
Suatu
perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli matematika
Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815—1864), mencoba
menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan
lambang-lambang non bahasa atau lambang-lambang matematis, mereka berhasil
merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut
juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19
dibedakan dari logika klasik.
3.
Bentuk dan Isi Argumen
Dengan
bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas logika
formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen,
sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.
a.
Logika Formal
Persoalan
mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal,
tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini
yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke
kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak?
Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti
tepat juga. Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih
(valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila
kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari
premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu
sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selain dari
itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah, bahwa yang memainkan
peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu penalaran adalah
premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar penyimpulan. Dengan
demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya akan berakibat
pada kesimpulan yang keliru pula.
b.
Logika Material
Bila
logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika
material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk
suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari
segi isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar,
artinya, semua proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari
proposisi-proposisi dalam suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut,
sebagai satu kesatuan, dari segi isi, dikatakan tidak benar.
C. Logika Hukum II
Logika
hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagamana peraturan itu dibuat, dan
ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum. Kelsen memandang ilmu
hukum adalah pengalaman logikal suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal.
Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukium adalah bersifat
logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal. Logika hukum
berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari
suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran.
Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan
konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio),kemudian
diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning). Logika hukum (legal
reasoning) mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti
luas, logika hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam
membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit,
berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan
melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan alasan
pendukung putusan (Munir Fuady).
Logika
hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan oleh setiap ahli
hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum. Mempunyai kompetensi untuk
menerapkan atau pembentuk hukum selalu memperhatikan antara pertimbangan hukum
dan amar putusan. Melakukan perumpamaan selama melakukan proses olah pikir
dengan berargumentasi hukum akan memudahkan pemahaman.[5] Munir
Fuady menjelaskan bahwa logika dari ilmu hukum yang disusun oleh hukum mencakup
beberapa prinsip diantaranya; Pertama, prinsip eksklusi, adalah suatu teori
yang memberikan pra anggapan bahwa sejumlah putusan independen dari badan
legislatif merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka dapat
mengidentifikasi sistem. Kedua, prinsip subsumption, adalah prinsip di mana
berdasarkan prinsip tersebut ilmu hukum membuat suatu hubungan hierarkis antara
aturan hukum yang bersumber dari legislatif superior dengan yang inferior.
Ketiga, prinsip derogasi, adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan
dari teori terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain
dengan sumber yang lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, adalah adalah
prinsip-prinsip yang merupakan dasar berpijak bagi teori hukum untuk menolak
kemungkinan adanya kontradiksi di antara peraturan yang ada. Dapat dikatakan
bahwa pengertian dari logika hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang
hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang
bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara
mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Logika
hukum dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat
di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum
(perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke
dalam peraturan hukum yang ada. Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode
untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan
penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari
suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh
pembuatan pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio
cinium, reasoning).[6]
Bagi
para hakim logika hukum ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk
memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum logika hukum ini
berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan
tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan
untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa
ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan
peraturan, logika hukum ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu
undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan
bagi pelaksanaan, logika hukum ini berguna untuk mencari pengertian yang
mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya
menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya.
D. Kepastian Hukum
D. Kepastian Hukum
Kepastian
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma
hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian
sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara
historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang
telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.
Keteraturan
masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan
merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat
hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai
kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai
kepastian hukum dari beberapa ahli.
Gustav
Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, yaitu :
Pertama,
bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah
perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya
didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara
yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah
dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.[7]
Pendapat Gustav Radbruch tersebut
didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang
hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih
khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut
Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia
dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.
Pendapat mengenai kepastian hukum
dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta yaitu bahwa
kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas
atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh
kekuasaan negara;
Ø Bahwa
instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
Ø Bahwa
mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
Ø Bahwa
hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum; dan
Ø Bahwa
keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima
syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum
dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir
dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah
yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal
certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat
dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.[8]
Menurut
Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,
bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat
dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun
hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap
orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif,
individualistis, dan tidak menyamaratakan.
Kepastian
hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat
dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum
yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat
dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam
mengaktualisasikannya pada hukum positif. Nusrhasan Ismail berpendapat bahwa
penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan
persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu
sendiri.
Persyaratan
internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama,
kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku
tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hierarki kewenangan
dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hierarki ini
penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hierarki akan memberi arahan
pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Ketiga,
adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan
dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan satu subjek
tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Kepastian
hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki
aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi
sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8
(delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi,
maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus
terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
§ Suatu
sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
§ Peraturan
tersebut diumumkan kepada publik;
§ Tidak
berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
§ Dibuat
dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
§ Tidak
boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
§ Tidak
boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
§ Tidak
boleh sering diubah-ubah;
§ Harus
ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat
Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan
dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan. Dari
uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung
beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak
menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di
dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna
atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh
kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi
perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan
multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang
mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya
masyarakat yang ada.
Kepastian
hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum
dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam
sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam
suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada
keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan
melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A
Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.
Menurut
Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi
dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang
tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal
undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal
lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga
berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang
tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum
tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang
semata-mata (law in the books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini
tidak akan dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini
mungkin peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati
(doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia. Argumentasi
yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan
hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum.
Sebagaimana Mahfud MD mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan
dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi
menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang. Pendapat ini
merupakan sebuah protes terhadap kepastian hukum dalam undang-undang sehingga
orang yang bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan argumentasi
menurut logika pilihannya sendiri.
Faisal
dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan,
dalam sarannya mengatakan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu,
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan
realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang
satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan
dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus
didahulukan. Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika
memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang
mempertimbangkan dalam putusannya secara berbeda-beda. Kepastian hukum pada
negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa kontinental (civil law)
positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak
adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the books.
Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan pasti
dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini bergantung pada aparatur
penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu
kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap
saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya
dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas,
norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam
hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin
keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim
menjatuhkan putusan yang berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain
padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai. Disparitas pendapat (disenting
opinion) salah satu contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim
pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan
tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun
perbedaan pendapat itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa
hukum. Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk
sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam persidangan.
Menurut
Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang
hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi
tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam
putusan-putusan badan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan kepastian
penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum
bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya
adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan
sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam
menegakkan keadilan hukum.
Cicut
Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus
selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu. Mungkin dari
pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum
membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara
pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law
terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila
kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi tidak
pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian hukum dapat menimbulkan
seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum.
Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus
diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan
hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila
hanya bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa
mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat
undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat
ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum
berdasarkan hati nurani.
E. Hubungan Logika Hukum dengan
Kepastian Hukum
Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat
dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam
artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma,
reduksi norma, atau distorsi norma.
Ada
dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh karena hukum,
dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak
kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum
oleh karena hukum memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna; sedangkan kepastian hukum dalam hukum
tercapai, apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan
(undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang
dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat
ditafsirkan secara berlain-lainan. Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum
dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama
lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum
mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula
keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam
prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka
keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum
pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum
lahir dari suatu yang konkrit.[9]
Persoalan
logika hukum dengan sebuah metode dan penerapan penemuan hukum oleh hakim, baik
melalui penafsiran hukum atau konstruksi hukum merupakan persoalan yang penting
dalam penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Perkembangan-perkembangan
terakhir dalam metode penemuan hukum sangat dibutuhkan oleh para hakim di
negeri yang sedang berjuang keras untuk kembali menegakkan rule of law melalui
sarana penegakan hukum (law enforcement). Penguasaan terhadap metode mutakhir
penemuan hukum mempunyai peran esensial untuk mendukung para hakim mewujudkan
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara optimal.
Kepesatan
perkembangan pendekatan pasif diperlihatkan oleh lebih dulunya
peristiwa-peristiwa hukum yang menuntut kepastian ketimbang hukumnya sendiri,
karena interpretasi nas mungkin berbeda. Pemecahan-pemecahannya mudah sekali
diucapkan tetapi sulit sekali dirumuskan. Pendekatan logika pasif berprinsip
bahwa segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu berarti
hukum Islam.
Adanya
logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum
dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak
langsung juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.
BAB lll
F. Kesimpulan
Logika
hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason”
tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan
perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan bagaimana
seorang ahli hukum menalar hukum. kepastian dapat mengandung beberapa arti,
yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Adanya
logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum
dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak
langsung juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Faruq, Umar. Peran Logika dalam Ilmu Hukum. Jakarta,
PT BINA AKSARA 2013.
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. Bogor, Ghalia
Indonesia 2010.
Salam, Burhanuddin. Logika Formal. Jakarta, PT BINA AKSARA
2012.
Ariwibowo, Adityo. Logika Hukum. Yogyakarta, Rineka Cipta
2014.
Sigalingging, Bisdan. Memahami Kepastian Hukum. Yogyakarta, Rineka Cipta 2014.
Mujahiddin, Ahmad. Logika Hukum. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar 2007.
Jaudi, La. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai
dasar Hukum Dalam Masyarakat. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar 2013.
[1]
Umar Faruq, Peran Logika dalam Ilmu Hukum,
( Jakarta: PT BINA AKSARA 2013), hlm. 40.
[2]
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor:
Ghalia Indonesia 2010).
[3]
Ibid,,,,hlm. 155.
[4] Burhanuddin Salam, Logika Formal, (Jakarta: PT BINA AKSARA 2012), Hlm.167.
[5]
Ahmad Mujahiddin, Logika Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), hlm. 186.
[6]
Burhanuddin Salam, Logika Formal,
(Jakarta: PT BINA AKSARA 2014), Hlm.189.
[7]
Bisdan Sigalingging, Memahami Kepastian Hukum, (Yogyakarta: Rineka
Cipta 2014), hlm. 134.
[8]
La Jaudi, Argumentasi Tentang Penerapan
Tiga Nilai dasar Hukum Dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
hlm. 143.
0 komentar:
Posting Komentar