Alesia
Cerpen: Sungging Raga
”Kalau ibu pergi, Alesia, berjanjilah untuk
tidak bersedih terlalu lama.”
Ia dengar ibunya membisikkan kalimat itu di
telinganya. Samar-samar ia rasakan napas ibunya yang lemah, semakin lemah sejak
beberapa hari terakhir ini ibunya hanya bisa terbaring tanpa bisa melakukan
apa-apa lagi.
Alesia, gadis berwajah pucat itu, hanya bisa
duduk di sisi tempat tidur, tangan kanannya menggenggam tangan sang ibu, ada
rasa dingin yang seolah menyatu sebagai pusaran takdir, sebagai rangkaian
kesunyian yang telah lama menggumpal di rumah itu.
”Apa yang akan terjadi setelah kematian,
ibu?” Tanya gadis itu.
Sang ibu tersenyum, matanya menyipit, sebuah
tarikan napas panjang, yang barangkali tak akan ada napas yang lebih panjang
lagi dari ini. Rumah seperti beku, udara menempel di gorden, cicak-cicak
terdiam di langit-langit.
”Ibu juga tidak tahu, Alesia. Yang pasti,
sebentar lagi akan ada malaikat yang membawa ibu ke langit.”
”Malaikat?” Alesia berpikir tentang makhluk
bersayap yang suka menemani anak-anak kesepian. Namun ia ragu untuk apa
malaikat itu akan membawa ibunya. ”Apakah ia jahat?”
”Tidak, Alesia. Malaikat itu baik hati.”
Gadis itu barangkali tahu bahwa semua
malaikat memiliki sifat baik hati. ”Tapi kenapa dia mau membawa Ibu?”
”Sebab itu sudah tugasnya.”
”Ah, tidak boleh. Pokoknya tidak boleh,”
gadis itu merajuk, sekarang Alesia membayangkan malaikat itu punya tanduk
merah, bergigi taring, bermata menyeramkan, ”apa malaikat itu bisa dibunuh?”
Tanyanya lagi. Sang ibu nampak terkejut mendengar pertanyaan itu.
”Tidak bisa, Alesia. Kau pasti terlalu sering
membaca dongeng. Malaikat adalah makhluk mulia, ia akan datang dengan perintah
yang tidak bisa ditunda.”
Namun, gadis kecil yang memang terlalu banyak
membaca buku-buku dongeng yang dikirim ayahnya dari Finlandia itu, sudah
telanjur membayangkan bagaimana kedatangan malaikat yang tak dikehendakinya
itu. Maka diam-diam ia pun menyiapkan sebuah rencana khusus.
Alesia beranjak keluar dari kamar kelabu itu,
pergi ke dapur, menghidupkan kompor untuk memasak air. Lantas ia siapkan
segelas kopi bubuk. Selanjutnya ia menjangkau sebilah pisau dapur,
menyelipkannya di balik pinggangnya.
”Mungkin malaikat suka kopi. Dulu, setiap
kali ayah ada tamu, pasti minta dibuatkan kopi.” Gumamnya. Setelah air
mendidih, ia menuangkannya di termos, lalu ia pergi ke halaman belakang, sesaat
memandangi langit biru. Begitu biru.
Alesia bahkan nyaris lupa kalau sejak dulu
langit memang punya warna biru…
***
Malaikat itu datang dengan sebuah lesatan
yang tak bisa digambarkan kecuali seperti cahaya yang lolos dari tangkapan
setiap mata. Dalam sekejap, malaikat itu sudah berada di depan pintu rumah
Alesia.
Sang malaikat lantas masuk menembus pintu. Di
ruang tamu, ia melihat beberapa setan kecil yang sedang berkerumun di sebuah
lukisan yang terpajang di tembok bagian kiri. Lukisan itu menampakkan sesosok
manusia yang berdiri memegang pedang dan perisai, memakai topi bertanduk,
dengan mata berwarna merah menyala.
”Kenapa mereka suka sekali berkerumun di
depan lukisan itu?” gumam si malaikat.
Lukisan itu sebenarnya adalah lukisan potret
ayah Alesia sendiri, yang sedang mengenakan kostum adat Finlandia, dilukis oleh
seniman yang tinggal di kampung sebelah. Bersamaan sejak lukisan ini dipajang,
sejak itu pula ayah Alesia tak pernah kembali. Sudah lama ayahnya menjadi buruh
kasar di kapal angkutan barang, dan suatu hari, harus pergi ke Finlandia untuk
bekerja di sebuah pelabuhan dan menetap sampai waktu yang tak diketahui.
Sejak saat itu, terbalik sudah kehidupan
Alesia, dari kebahagiaan minimalis, menjadi kesunyian yang berlapis-lapis,
kesunyian yang terus menyambar hatinya siang dan malam. Sang ayah memang rutin
mengirim uang kepada Alesia dan ibunya, sehingga kebutuhan sehari-hari mereka
tetap tercukupi, bahkan gadis itu sering kali mendapat buku-buku dongeng
Finlandia.
”Kapan-kapan Ayah akan mengajakmu ke Karelia.”
Begitu janji ayahnya lewat surat yang dikirim bersama buku-buku tersebut. Namun
Alesia tak pernah membalas satu pun surat-surat itu.
Dan hidup Alesia menjadi semakin buruk ketika
tiba-tiba ia menemukan ibunya sering terjatuh di dapur, di ruang tamu, dan di
halaman. Ia sering kali kesulitan untuk membantu sang ibu bangkit. Ketika
seorang tabib datang untuk memeriksanya, ternyata diketahui ibunya mengalami
kelumpuhan. Apakah ini karena ibunya juga merasa kesepian? Apakah kesepian bisa
menyebabkan kelumpuhan? Entahlah. Ayah Alesia tak diberi kabar perihal penyakit
tersebut. Hari demi hari, minggu demi minggu, penyakit ibunya semakin parah
saja, sudah beberapa kali dokter dan tabib dipanggil, pada akhirnya mereka
menyerah dengan alasan bahwa ini penyakit langka.
”Rumah sakit pun belum tentu bisa
menyembuhkannya. Selain itu biayanya pasti mahal.” kata dokter Manisha yang
datang dua minggu lalu.
Alesia, gadis sebelas tahun itu, hanya bisa
menemani ibunya sepanjang hari, mengambilkan air minum kalau ibunya memanggil-manggil
pada tengah malam, menuntunnya ke kamar mandi, dan juga melakukan seluruh
pekerjaan rumah. Semua itu menjadi seperti rutinitas, sampai siang ini, cerita
ibunya tentang malaikat dan kematian, membuatnya semakin gelisah. Dan ketika
malaikat itu benar-benar datang, Alesia pun mengintip dari ruang tengah.
”Sepertinya itu,” gumam Alesia, ”tapi kenapa
tidak bertanduk, ya?”
Setelah mengusir setan-setan kecil dari
lukisan tadi, malaikat itu lantas duduk di salah satu kursi, melihat ke arah
jam dinding, barangkali waktunya belum tiba, barangkali ia datang terlalu
cepat. Saat itulah, Alesia muncul dengan membawa secangkir kopi, dan pisau
dapur itu masih tersembunyi di balik pinggangnya.
”Anda malaikat yang akan menemui ibu saya?”
”Oh, iya.”
Lantas gadis itu meletakkan secangkir kopi di
atas meja. ”Semoga Anda tidak buru-buru. Saya sudah buatkan kopi. Ini, diminum
dulu.”
Sejujurnya, Alesia—dan saya sebagai penulis
cerita ini—masih tak yakin apakah benar yang datang itu memang malaikat atau
hanya tokoh dongeng yang salah diberi nama sebagai malaikat, tapi baiklah kita
ikuti terus apa yang terjadi. Sang malaikat lantas mengangkat cangkir kopi itu,
meminumnya perlahan.
”Slrrpp… Hm, pahitnya pas. Tajam. Kau pandai
bikin kopi.”
Alesia mencoba tak tersenyum dengan pujian
itu.
”Ini kopi apa?” Tanya si malaikat lagi.
”Kopi Lampung, diberi tetangga sewaktu
lebaran. Silakan diminum lagi, ibu saya mengajarkan saya untuk berbaik hati
pada tamu. Kalau kurang, nanti saya buatkan yang baru.”
”Haha, boleh saja, tapi aku sedang
buru-buru…”
”Mau ke mana?”
”Menemui ibumu. Dia ada di dalam?”
Gadis itu mengangguk.
Dan ketika malaikat itu beberapa kali melihat
ke arah jam dinding, saat itulah Alesia tiba-tiba mengacungkan pisau dapur itu
ke udara…
Lantas ia menusukkannya, ke arah perutnya
sendiri.
Sang malaikat menoleh pada gadis itu. ”Apa
yang kamu lakukan?”
Ia tetap menampakkan raut yang tenang melihat
gadis itu mulai terengah-engah dan darah membasahi pakaiannya.
”Se… Sekarang, kau tak punya pilihan lain,
bukan? Kau terpaksa harus mengambil nyawaku terlebih dahulu sebelum bertemu
ibuku.” Kata Alesia. Ia sudah tersungkur di lantai—karena pemandangan cukup
mengerikan, bagian ini tidak digambarkan dengan detail.
Meski begitu, sang malaikat bergeming, ”Ah,
tapi ini bukan tugas saya.” Jawab malaikat itu. Ia justru berbalik masuk ke
kamar tidur yang pengap, melihat sosok wanita terbalut selimut yang lusuh.
”Nalea Mendieta…” Katanya. Wanita yang
berbaring itu perlahan menoleh.
”Ya? Siapa?”
”Hm. Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang
pasti, aku membawa kabar kesembuhan untukmu.”
”Kesembuhan?”
”Ya.”
”Tapi dokter bilang, tidak ada lagi obat yang
bisa menyembuhkan penyakit saya.”
”Tidak. Masih ada satu obat yang tak
dipikirkan oleh dokter mana pun.”
”Apa itu?”
”Doa… Anak gadismu yang setiap pagi dan
petang selalu mendoakan kesembuhan ini. Anakmu yang sepanjang hari selalu
berharap kau kembali seperti sedia kala. Jadi, aku dikirim untuk mengabarkan
kesembuhanmu sesuai yang telah ditakdirkan. Nikmatilah…”
Wajah wanita itu pun langsung berbinar.
”Terima kasih, Tuan, terima kasih.”
”Sama-sama. Sekarang cepatlah temui anakmu,
sepertinya ada sedikit salah paham. Aku pamit dulu. Ada banyak kabar lain yang
harus kusampaikan.”
Setelah berkata begitu, sang malaikat pun
langsung pergi lewat pintu bekalang, melesat entah ke mana.
***
Tak lama setelah kepergian sosok misterius
itu, wanita tersebut berangsur-angsur mendapatkan tenaganya kembali. Ia sudah
bisa membangunkan badannya meski masih belum beranjak di atas tempat tidur. Tak
ada lagi rasa ngilu yang menggerogoti setiap persendiannya.
”Alesia? Alesia?” Ia memanggil anak gadisnya.
Tak ada jawaban.
”Alesia? Kemarilah.” Katanya lagi.
Tetap tak ada jawaban.
Thnks log for your reading:)
0 komentar:
Posting Komentar